KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN: Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 Tentang Uji Materi Terhadap Pasal 43 Ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Muhammad Arifin
2017 Ahkam Jurnal Hukum Islam  
This article discusses the right of children as the result of non marital relationship based on the Indonesian Constitution Court interpretation. The analysis is conducted using normative juridical approach. The finding shows that there are two groups of children. The first, the children still have the rights exactly similar to those who are born in a marital relationship such as the right of living expenditure, the right of marital guardian, the right of breast feeding, and the right of
more » ... y. The second group of children do not receive the rights similar to the first group. They may not claim the right of living expenditure, the right of marital guardian, the right of breast feeding, and the right of heredity from their parents. Their relationship with their biological parents is just the same as the relationship with common people. PENDAHULUAN Pembicaraan tentang anak luar kawin sudah marak sejak satu dekade ini, dan diskusi ini semakin menarik sejak tahun 2012 yaitu ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang uji [118] AHKAM, Volume 5, Nomor 1, Juli 2017: 117-137 materi terhadap pasal 43 ayat 1 UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang mengakomodir hak anak luar kawin dari ayah biologisnya. Mahkamah Konstitusi merupakan Salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. 1 Bunyi Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI TH 1945) adalah Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan yang cukup mengejutkan banyak pihak pada bulan Februari 2012, yaitu dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010 terkait kedudukan hukum bagi anak luar kawin. Putusan ini mengundang pro dan kontra dari berbagai pihak, baik dari kalangan praktisi hukum, akademisi, LSM, MUI, bahkan masyarakat. Putusan MK mengenai pengakuan anak di luar perkawinan "sangat mengejutkan". Walaupun melegakan sejumlah pihak, akan tetapi ada permasalahan baru yang timbul dari putusan tersebut. 2 Tidak terdapat pendapat ulama yang menetapkan bahwa salah satu syarat perkawinan adalah pencatatan, baik sebagai syarat sah maupun sebagai syarat pelengkap. Hal itu didasarkan pada kitab-kitab yang dijadikan pedoman oleh Departemen Agama dalam menyelesaikan perkara dalam lingkungan Peradilan Agama. Akan tetapi, dalam undang-undang perkawinan yang diberlakukan, terdapat pasal yang mengatur pencatatan perkawinan, hal itu merupakan bagian dari pengawasan perkawinan yang 1
doi:10.21274/ahkam.2017.5.1.117-137 fatcat:xnrjthsxjfc2vok4hxiebugoty