Perjanjian Alih Teknologi Melalui Usaha Patungan Antara "Enterprise" dengan Perusahaan Perintis Lex Jurnalica

Olivia Fitria, Hukum Fakultas, Esa Universitas, Jakarta Unggul, Tol Utara, Kebun Tomang, Jeruk
2011 unpublished
Natural resources in oceanic seabed has been declared in International Maritime Law Convention as heritage for all people, which it exploration, exploitation, production, and distribution, required science and technology. This thing constituted by reality that limited science and technology mastered by several advanced industrial states, while natural resources, geographically not spread over widely in the world, most often the biggest natural resources spread in several developing countries.To
more » ... avoid domination monopolies the source of natural resources by developed countries (industrial states) with their science, technological and capital, required the compensation for exploitation and exploration with 1 (one) term and condition which is the existence of transfer of technology with hope can be distributed fairly among developing countries. Through International Maritime Law Convention, arranged rights and obligations of developed countries (industrial states) to transfer of their technology to developing countries as receiver.Indonesia as member of International Maritime Law Convention has adopted the convention into national legislation. Transfer of technology aspects between Investor that mastering science and technological with Join Company to be certain company, intentionally formed for the agenda to explored and exploited the natural resources and implication must be evaluated from national importance for the agenda of wealthy people. Pendahuluan Berkembangnya kemajuan teknologi yang menakjubkan dewasa ini yang telah membawa per-soalan-persoalan baru bagi hukum internasioanal adalah kemungkinannya eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam mineral di dasar laut samudra dalam yang jauh dari pantai, (Hasyim Djalal, 1979) misal-nya minyak bumi dan gas alam cair. Persoalan hu-kum internasioanal muncul akibat status area pe-nambangan berada di lokasi yang dinyatakan seba-gai samudra internasional. Disamping itu, jenis kan-dungan sumber mineral alamnya menguasai hajat hidup orang banyak dikemudian hari dengan jumlah dan sebaran yang terbatas diseluruh perut bumi. Seperti dipahami, bahwa kemampuan tek-nologi penambangan dasar laut samudra dalam baru hanya dikuasai oleh sejumlah kecil negara industri barat yang maju, dengan ditopang oleh struktur ke-kuatan finansial yang "menggurita" keseluruh pelo-sok dunia, berhadapan dengan negara-negara ber-kembang yang bahkan diantaranya berusia belia karena baru lepas dari penjajahan fisik dengan ting-kat kemapanan ekonomi dan penguasaan teknologi yang kurang menggembirakan, ditambah kemung-kinan di wilayah teritorialnya mengandung bahan galian mineral. Kesenjangan ini menimbulkan ke-gundahan akan ancaman "tersandarnya kedaulatan negara" karena ketergantungan akan produk mineral atas mineral yang dikuasai oleh teknologi negara-negara industri barat dan Jepang. (Elisabeth Mann Borgese and Norton Ginsburg, 1986) Agar penambangan mineral ini tidak hanya dikuasai oleh negara-negara industri maju, maka perlu diciptakan rezim hukum internasioanal yang dapat mengakomodasi kepentingan negara-negara berkembang yang teknologinya belum mampu de-ngan jalan mentransfer teknologi guna menunjang pembangunan ekonomi dan kemajuan kesejahteraan
fatcat:xzdzejk4dbab7p5vksbooep2qa