Bagaimana kemiskinan diukur?: beberapa model pengukuran kemiskinan di Indonesia [book]

Cahyat A.
2004 unpublished
C e n t e r f o r I n t e r n a t i o n a l F o r e s t r y R e s e a r c h November 2004 Number 2 PENGANTAR Banyak negara, organisasi dan perorangan memperhatikan masalah kemiskinan, tapi bagaimana cara mengukur kemiskinan yang akurat dan tepat? Dan bagaimana mereka bisa tahu apakah usaha mereka berdampak? Pertanyaan ini penting karena ada berbagai pendekatan untuk mengukur kemiskinan, dan tidak ada satu pun yang sempurna dan bisa menjadi standar umum. Belum tentu standar-standar nasional
more » ... untuk setiap wilayah, di mana keadaan ekonomi rumah tangga dan budaya cukup beragam. Dengan keadaan desentralisasi dan peningkatan peran pemerintah lokal, setiap kabupaten mempunyai kesempatan untuk menyesuaikan indikator kemiskinan dengan keadaan lokal untuk mengawasi kemiskinan daerah sendiri, walaupun sebagian indikator ini alangkah baiknya ditarik dari standar-standar nasional untuk mendukung perbandingan antar wilayah. Program Penelitian Aksi Kemiskinan dan Desentralisasi CIFOR bertujuan untuk mengembangkan sistem monitoring di tingkat kabupaten yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, pemerintah daerah dan pusat. Proyek yang berkoordinasi dengan Universitas Freiburg Jerman dan didanai oleh BMZ ini mencoba untuk menjawab tantangan tersebut di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Kutai Barat dan Malinau di Propinsi Kalimantan Timur. Ada juga situs perbandingan di Bolivia, Amerika Selatan. Proyek ini adalah pengembangan sistem monitoring kesejahteraan yang relevan khas lokal dan juga berkoordinasi dengan proyek lain yang memiliki tujuan yang kurang lebih sama seperti proyek yang dikembangkan oleh Pemkab Sumba Timur, Biro Pusat Statistik, GTZ-PROMIS dan UNICEF. Tulisan ini bertujuan untuk menguraikan model-model pengukuran "kemiskinan" yang dipakai di Indonesia, untuk memulai diskusi tentang ukuran apa dan indikator mana yang selama ini digunakan. Pendekatan pengukuran kemiskinan yang dibahas termasuk model tingkat konsumsi dan model kesejahteraan keluarga. MODEL TINGKAT KONSUMSI Pada awal tahun 1970-an, Sayogyo (1971) menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai indikator kemiskinan. Dia membedakan tingkat ekuivalen konsumsi beras di daerah pedesaan dan perkotaan. Untuk daerah pedesaan, apabila seseorang hanya mengkonsumsi ekuivalen beras kurang dari 240 kg per orang per tahun, maka yang bersangkutan digolongkan sangat miskin, sedangkan untuk daerah perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 360 kg beras per orang per tahun 1 . Hampir sejalan dengan model konsumsi beras dari Sayogyo, Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung angka kemiskinan lewat tingkat konsumsi penduduk atas kebutuhan dasar. Perbedaannya adalah bahwa BPS
doi:10.17528/cifor/001641 fatcat:cfimmvkikrbhthapxknvc5rwj4